Merawat Mahabbah

Merawat Mahabbah

Cinta sebagai puncak kekayaan tidak akan pernah terasa sebelum mencapai puncak cinta. Cinta yang sejati akan melahirkan puncak kepuasan dan kebahagiaan. Puncak cinta sejati (mahabbah) dirasakan seorang hamba terhadap Kekasihnya, Allah Swt.
Bahkan Rabi'ah al- Adawiyyah, seorang sufi perempuan, menyatakan bahwa mahabbah terhadap Tuahnnya menenggelamkan cintanya terhadap syurga, sebagaimana dinyatakan dalam syairnya: "Jika aku menyembah Engkau karena mengaharapkan syurgamu maka masukkan aku ke dalam neraka-Mu. Jika aku mencintai-Mu karena takut ke dalam nerakamu, masukkan aku ke dalam nerakamu. Aku mencintai-Mu semata-mata karena aku mencintai-Mu".

Merawat cinta kasih terhadap Tuhan dengan sendirinya terimplementasi dengan mencintai segenap makhluk-Nya. Cinta terhadap makhluk manifestasi terhadap cinta terhadap-Nya. Jima cinta sudah menyatu dengan yang dicintainya maka sang pencinta akan merasakan puncak kebahagiaan, sekalipun di mata orang lain yang melihatnya prihatin terhadapnya. Cinta sejati hanya dapat dirasakan oleh sang pencinta dan kenikmatan itu tidak bisa dijelaskan kepada orang lain. Orang lain juga tidak bisa melukiskan keindahan cita terhadap orang lain.

Jika cinta sudah bersemi maka semuanya akan terasa indah. Cita sebagai puncak kebahagiaan tidak mensyaratkan seseorang harus kaya atau memiliki status social ekonomi tertentu. Siapapun bisa jatuh cinta dan merasakan kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian dalam cinta. Dari sudut inilah dikatakan cinta adalah puncak kebahagiaan. Jika cinta sudah aktif dan dominan di dalam diri seseorang berarti keindahan dan kebahagiaan cinta digambarkan dalam satu kisah yang sring dikutip di dalam kitab-kitab tasawuf. Dikisahkan bahwa seorang miskin yang amat melarat mendatangi seorang ulama arif dan meratap: "Aku hamba Tuhan, hidupku lurus, tetapi aku sangat miskin.

Dimanakah letak keadilan Tuhan? Mengapa orang lain kaya sedangkan aku sangat papa?" Sang arif berkata: "Apakah engkau memiliki rasa cinta pada Tuhan dalam hatimu?". Dijawab "ia, benar" jawab si miskin. "Maukah engkau menukar cintamu pada Tuhan dengan seluruh emas di dunia ini?". "Tentu saja aku tidak mau" sahut si miskin tanpa ragu. "Berarti engkau adalah orang terkaya di dunia," tandas si suci. Si miskin menghapus air matanya sambil bersyukur.
Menjadi seorang pencinta sejati tidak memerlukan modal materi. Keinginan untuk untuk menjadi pencinta sejati ada pada setiap orang tetapi tidak semua orang mampu mewujudkannya. Kalaupun ada yang mampu mewujudkannya belum tentu mampu melanggengkannya.

Memelihara cinta sejati (mahabbah) memerlukan keterampilan tersendiri dan lebih khusus perlu istiqamah. Tanpa istiqamah disertai niat suci karena Allah Swt mahabbah itu sulit terwujud. Sehubungan dengan ini menarik apa yang diungkapkan Tuhan di dalam Al-Qur'an S. al- Isra': Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. (Q.S. al- Isra'/17:23).

Dalam ayat ini Allah mengisyaratkan latihan mencintai Tuhan ialah belajarlah mencintai orang tua. Jika orang yang pernah berbuat baik secara visual tidak mampu kita berbuat baik kepadanya maka sulit membayangkan bisa berbuat baik atau menyembah Tuhan secara penuh, apalagi berbuat baik kepada orang lain. Kita harus belajar bagaimana menjadi pencinta sejati kepada kedua orang tua.



Telah terbit di https://news.detik.com/berita/d-6024079/merawat-mahabbah.
 

Tags : nasaruddin umar kontemplasi qolbu

Bagikan :